Minggu, 19 Mei 2013

Pergolakan Informasi di Indonesia


Pergolakan Informasi di Indonesia akan sia-sia?

Seperti halnya di negara lain, perkembangan Internet juga mengguncang Indonesia. Istilah Information Technology (IT), Telematika, ICT (Information and Computing Technology), dan lain-lain mulai banyak muncul dalam seminar dan publikasi. Tahun 2000 banyak bermunculan perusahaan-perusahaan “dotcom wannabee” yang ingin meniru perusahaan di Amerika. Terpuruknya perusahaan dotcom di Amerika, ditandai dengan anjloknya Nasdaq, juga mempengaruhi perusahaan dotcom di Indonesia. Namun, perkembangan IT di Indonesia tidak mati. Masih banyak usaha-usaha untuk melakukan bisnis di bidang IT atau bisnis di bidang lain tapi menggunakan IT.

Usaha mempopulerkan Internet dan teknologi informasi, umumnya, dilakukan di Indonesia dengan berbagai pendekatan, lengkap dengan slogan-slogannya. Beberapa di antaranya berkesan klise, seperti Digital Divide. Ini mengingatkan saya akan terminologi “information superhighway” yang dulu pernah populer (di awal perkembangan Internet di Amerika, jaman Al Gore menjadi wakil presiden Amerika). Karena terlalu sering digunakan, dan belum terlihat hasilnya, slogan-slogan ini justru membuat orang menjadi mual mau muntah.
Sebetulnya apa yang menjadi pendorong orang-orang ini untuk mempopulerkan Internet? Bagi penyelenggara jasa Internet (PJI), atau yang dikenal di luar negeri dengan nama Internet Service Provider (ISP), jelas usaha mempopulerkan Internet merupakan bagian dari bisnis mereka. Hal ini terkait dengan market creation. Ini wajar-wajar saja dan sah-sah saja. Justru akan aneh kalau ISP tidak melakukan usaha untuk mempopulerkan Internet. Selain PJI ada juga bisnis lain yang terkait dengan usaha itu seperti bisnis web hosting, portal (berita dan lain-lain), dan kini ASP (Application Service Provider).

Institusi lain yang non-PJI pun merasa perlu berlomba-lomba untuk mempopulerkan Internet. Ada usaha-usaha melakukan penelitian (study & research), atau membuat BIM, Warintek, dan sebagainya. Usaha ini belum jelas apakah dia bermuatan bisnis atau bersifat sosial. Ataukah dia sebenarnya bisnis (mencari proyek) yang berkedok sosial? Ataukah usaha untuk sekedar menghabiskan dana proyek saja? Yang pasti, ada usaha untuk mempopulerkan Internet dari berbagai pihak. Tidak ada yang salah, asal tujuannya jelas dan transparan.
Dari kesemua usaha ini nampaknya pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia bertambah dengan sangat lamban. Diperkirakan jumlah pengguna Internet masih berkisar antara 1,5 sampai 2 juta orang. Dia tidak berkembang secara eksponensial seperti di Cina dan India. Saya belum memiliki data pertumbuhan pengguna Internet di negara-negara lain di Asia, khususnya di Asia Tenggara. Singapura kemungkinan memiliki pertumbuhan yang rendah karena sebagian besar penduduknya sudah menggunakan Internet. Populasi Indonesia yang besar dengan pengguna yang baru 2 juta orang memungkinkan penambahanan pengguna yang berarti. Ini yang masih diincar oleh pelaku bisnis. Namun sayangnya sebagian besar dari penduduk Indonesia masih jauh dari jangkauan Internet, atau bahkan dari jangkauan telepon, atau lebih mendasar lagi dari jangkauan listrik.

Penyajian informasi via Internet tidak cocok dengan kultur Indonesia  Sebenarnya ada hal yang lebih mendasar lagi. Kegagalan penambahan jumlah pengguna Internet di Indonesia ini mungkin disebabkan oleh hal lain yang lebih mendasar, yaitu hambatan kultur. Mungkin penyajian informasi tidak membutuhkan media seperti Internet.
Jika kita lihat sebagian besar penduduk Indonesia, apakah mereka memiliki kebutuhan akan informasi seperti yang diberikan oleh Internet? Jangan-jangan jawabannya adalah tidak. Maksudnya dengan sistem dan infrastruktur yang ada saat ini saja kebutuhan akan informasi dari sebagian besar penduduk Indonesia sudah tercukupi. Sistem informasi lewat ketongan atau dari mulut ke mulut saja sudah cukup. Tidak perlu pakai Internet.
Ketika jalan-jalan ke sebuah kampung di Jawa Tengah, saya melihat bahwa listrik dan bahkan wartel (warung telepon) sudah ada di sana. Artinya infrastruktur telekomunikasi, meskipun minimal, sudah ada di sana. Saya tidak tahu apakah memang perlu seorang petani memiliki telepon sendiri di rumahnya. Saya tidak tahu apakah seorang petani di desa tersebut membutuhkan informasi tertentu sehingga rela membayar untuk memiliki akses Internet.
Jenis informasi apa yang dibutuhkan oleh seorang petani? Banyak orang yang mengatakan bahwa para petani ini membutuhkan informasi mengenai harga padi dan tanaman lain yang ditanamnya. Saya tidak terlalu yakin. Biar harga padi berapa pun, mereka tetap menanam padi. Informasi seperti itu pun bisa diperoleh dari petani lainnya. Artinya nilai (value) dari harga padi pada saat itu belum begitu penting sehingga petani tersebut mau membayar informasi tersebut. Hal yang serupa dapat dilihat di sektor usaha lain.
Mungkin informasi tentang anak yang sedang bersekolah di kota lain yang lebih menarik? Banyak petani yang menyekolahkan anaknya di kota lain, di pulau lain, dan bahkan di luar negeri. Tentunya mereka tertarik untuk berkomunikasi dengan anak mereka untuk sekedar menanyakan apakah uang sangunya masih cukup untuk membayar uang sekolah dan indekos. Atau mungkin dia tertarik untuk mendapat informasi tentang cucunya yang baru lahir di luar negeri? Atau kesemuanya ini tidak menarik bagi dia? Atau menarik, namun belum sampai pada taraf membutuhkan perangkat komunikasi (telepon atau Internet) sendiri di rumah.
Sebetulnya yang perlu kita cari tahu adalah kebutuhan primer dari penduduk Indonesia yang berhubungan dengan informasi. Makan merupakan sebuah kebutuhan primer. Makanan masih perlu disajikan sesuai dengan selera dan kultur setempat. Ada kultur yang suka makan nasi dengan ikan, akan tetapi ada yang lebih suka makan daging dengan sambal. Meskipun makan merupakan sebuah kebutuhan primer, dia masih perlu disajikan sesuai dengan selera dan kultur setempat. Demikian pula dengan informasi. Perlu kita cari kebutuhan primer informasi dan bagaimana cara menyajikan informasi tersebut sehingga informasi tersebut dapat lahap dimakan. Tambah pula!
Setelah diidentifikasi kebutuhan primer, baru kita cari kebutuhan sekunder, dan seterusnya. Dari sini baru bisa kita identifikasi apakah memang teknologi informasi sudah dibutuhkan secara serius.
Internet, khususnya world wide web dan e-mail, merupakan cerminan dari kultur baca tulis. Sementara kita lihat bahwa kultur baca dan tulis tidak terlalu dominan di Indonesia. Orang Indonesia lebih senang berkomunikasi secara verbal. Lihatlah jumlah penduduk Indonesia yang buta huruf. Lihatlah jika orang asing naik bepergian, naik pesawat terbang, atau naik kereta apa, yang dibawa adalah buku. Sementara orang Indonesia lebih senang tidur, makan, atau ngobrol di kendaraan.  Internet sangat natural dengan kultur Barat.
Kemampuan baca tulis di Indonesia nampaknya juga semakin berkurang. Di masa yang lalu kita melihat banyak pengarang Indonesia (seperti Marga T, Kho Ping Ho, Ashadi Siregar), atau juga pengarang komik (masih ingat Gundala Putra Petir, Godam, Pangeran Mlaar? atau R. A. Kosasih?). Namun sekarang dunia bacaan ini didominasi oleh bacaan dari luar negeri. Cobalah lihat komik anak-anak saat ini yang didominiasi oleh komik Jepang. Jika tidak dilakukan inisiatif khusus, maka kemampuan baca tulis kita akan semakin merosot.
Jika ada saluran Internet dengan kemampuan broadband dan multimedia, maka aplikasi yang populer di negara Barat adalah aplikasi distance learning (tele-education). Sementara itu jika fasilitas yang sama tersedia di Indonesia, dugaan saya fasilitas ini akan digunakan untuk karaoke atau nonton bersama (nonton sepak bola, balap motor atau racing Formula 1). Lagi-lagi ini masalah kultur.

Ketersediaan Informasi

Katakanlah banyak orang Indonesia mulai tertarik kepada Internet untuk mengakses informasi, maka masalah selanjutnya adalah ketersediaan informasi. Informasi di Internet untuk masyarakat Indonesia belumlah banyak. Untuk orang dewasa yang mencari informasi sesaat, ada banyak situs berita (detik.com, mweb.co.id, Kompas, Tempo, dan sejenisnya). Namun informasi untuk anak-anak SMU, SMP, dan SD belumlah banyak atau bahkan dapat dikatakan tidak ada. Situs web untuk remaja kebanyak bersifat hura-hura atau entertainment. Belum banyak situs yang berbicara tentang pelajaran atau referensi. Adakah situs yang bercerita mengenai kepulauan Indonesia, mengenai provinsinya, kekayaan alamnya, flora dan faunanya, tradisinya, dan masih banyak informasi lainnya yang sepertinya tidak bermanfaat bagi orang setempat akan tetapi sangat bermanfaat bagi tamu (visitor) yang ingin mengetahui lebih banyak tentang tempat tersebut? Sekedar menguji, coba anda sebutkan semua provinsi di Indonesia! (Jika anak anda bertanya, kemana anda mencari informasi ini?)

Sebetulnya membuat situs referensi tidak sukar. Saya membuat situs “Ensiklomedia” yaitu situs yang tujuannya adalah untuk memuat materi untuk bahan referensi seperti ensiklopedia akan tetapi difokuskan kepada bidang komputer, Internet, dan elektronika. Jika anda perhatikan, belum banyak situs lain yang memiliki informasi seperti ini. Lucunya, dari statistik log terlihat bahwa pengguna dari Malaysia yang lebih banyak menggunakan (membaca) situs ini. Situs ensiklomedia ini beralamat  di http://ensiklomedia.insan.co.id
Masih banyak jenis informasi lain yang dibutuhkan orang banyak, atau setidaknya saya butuhkan. Informasi yang saya cari antara lain, situs pelajaran bahasa Sunda (anak saya sering bertanya tentang peribahasa bahasa Sunda yang tidak saya ketahui), situs tentang informasi tumbuh-tumbuhan beserta khasiatnya, situs resep masakan (masakan tradisionil), situs tentang bagaimana merawat kendaraan bermotor, dan … ah, bisa habis tempat ini untuk menuliskan wish list saya saja. Itu belum wish list dari pengguna Internet lainnya.
Jadi, jika kita membuat warung informasi, balai informasi, atau mengajak orang untuk menggunakan Internet, kemana mereka akan surfing? Tanpa ada inisiatif dari berbagai pihak, terutama individu-individu maka usaha membuat pusat akses informasi menjadi tidak efektif. Pergolakan Informasi di Indonesia akan sia-sia.

Budi Rahardjo adalah peneliti di Pusat Penelitian Antar Universitas Bidang Mikroelektronika (PPAUME) ITB, direktur teknis dari berbagai perusahaan IT seperti INDOCISC.com, PT Sumber Daya Telematika Indonesia, dan PT Work IT Out.

Baca juga : cara membuat beef rendang